Mendung kelabu menyelimuti bandara udara. Suasana bandara begitu ramai dengan
keberangkatan dan kedatangan. Wajah
tampil berganti-ganti menyeruak diantara kerumunan orang yang akan berangkat
maupun pergi. Yang sedih akan
meninggalkan saudara, teman maupun kekasihnya.
Juga ada yang senang karena sebentar lagi berlibur meninggalkan
kepenatan pekerjaan rutin sehari-hari.
Toni
sedang menjemput anak perempuannya yang saat itu belajar di luar kota. Biasanya Toni tak punya
waktu untuk menjemput anak
tunggal perempuannya. Kesibukannya sebagai perwira tinggi hampir menyita waktunya untuk
bekerja, berdedikasi kepada negara.
Tapi kali ini dia tak mungkin tidak untuk tidak menjemput satu-satunya
putri tercintanya . Kabar yang sangat
penting harus disampaikan kepada
putrinya. Kabar yang paling sulit
disampaikan. Mulut dan hatinya hampir
tak mampu untuk mengatakan dan membersitkan apa yang dalam dirinya. Kesedihan yang telah dipendam terpaksa harus
disampaikan.
Begitu pesawat yang ditumpangi putrinya sudah
mendarat, dia segera mencari wajah yang tak asing lagi. Ratusan penumpang
bermunculan. Segera dikenalinya wajah
yang sangat disayanginya. Ria, seorang
putri remaja yang sangat cantik mirip dengan ibunya. Putih bersih kulitnya, semampai, mancung
hidungnya, lebat rambutnya. Setengah
berlari, Ria mencari-cari wajah ayahnya.
Begitu dilihatnya, segera dihampirinya. Dipeluknya dan didekapnya
erat. Seolah-olah mereka telah berpisah
bertahun-tahun. Padahal perpisahan itu
baru saja berlangsung sekitar satu tahun.
Namun, dalam setahun banyak hal terjadi.
Ketika
di dalam mobil Ria segera berceloteh kepada ayahnya. Ayah kenapa memanggilku. Kenapa engkau tak menunggu saja sampai liburan tiba.
Nanti aku pasti pulang. Ria tak sabar menunggu penjelasan dari
ayahnya. Hening sejenak. Ayahnya tak mampu berkata sepatah
katapun. Dengan perlahan dan menahan
kepedihan hati, dia mengatakan: “Ibumu,
telah diagnosa untuk cuci darah”. Cuci
darah ini hanya bisa berlangsung 1
tahun. Diharapkan dalam setahun, sudah
ada operasi ginjal dengan menggantikan
ginjal ibu dengan ginjal yang lain”.
Ria menahan jeritnya. Kenapa
ayah tak mengatakan lebih cepat supaya
saya bisa pulang dengan secepatnya menunggu perawatan ibu. Ayahnya mengatakan: “Ayah, tak mau mengganggu kuliahmu. Ayah dapat mengatasinya. Tetapi saat untuk cuci darah yang ketiga
kalinya, ibumu minta engkau datang. Terpaksa ayah harus memanggilmu”.
Terbayang
oleh Ria kesakitan yang diderita ibunya.
Begitu mobil sampai di suatu
rumah sakit. Ria dan ayahnya segera
menuju ke suatu ruang khusus untuk penderita gagal ginjal. Ria melihat wajah ibunya yang pucat, kurus ,
tapi kecantikannya masih terlihat dengan jelas. Dipeluknya ibunya erat-erat dan dibisikannya kata-kata : “Ibu,
kenapa Ibu tak mengatakan apa
yang terjadi sebenarnya?”. Ria sangat
shock melihat kondisi ibunya. Dia ingin
segera datang ke dokter yang menangani
ibunya. Menanyakan kemungkinan kesembuhan bagi ibunya dan
bagaimana cara mendapatkan donor ginjal bagi ibunya. Berbagai macam pertanyaan sudah ada dalam
pikirannya. Ingin ditanyakan kepada dokter ginjal .
Bertemu
dengan dokter ginjal, Roberto sangat menyenangkan. Beliau
memberikan paparan yang sangat gamblang
ibunya telah menderita gagal ginjal yang disebut gagal ginjal kronis , CKD seperti
Vaskulitis. Dialistis adalah
satu-satunya jalan untuk terapi yang tepat.
Tahap berikutnya operasi
pengangkatan ginjal dan mencari donor untuk pengganti ginjal.
Ria
dengan tak segan-segan bertanya kualifikasi menjadi donor ginjal dari
keluarga. Dokter mengatakan bahwa donor
bukan hanya dari keluarga saja. Tetapi kecocokan dari berbagai faktor menjadi
pertimbangan. Syarat mutlak yang harus
diperhatikan sehat mental dan phisik, golongan darah sama, tekanan darah
normal, tidak terkena kanker atau diabet, tak punya penyakit pembuluh darah.
Menyimak segala syarat untuk jadi donor darah, Ria langsung mengatakan, dia
bersedia untuk ditest kelayakannya.
Begitu Hani, ibu Ria mendengar anaknya ingin jadi donor. Dia langsung memanggil ke kamarnya. Percakapan yang sangat intens. “Nak, ibu mengerti engkau sangat ingin berbakti kepada ibu dengan mengorbankan
ginjalmu untuk ibu”. Tetapi ada yang
harus engkau pikirkan lebih lanjut dan matang, engkau hanya mempunyai satu
ginjal saja, kekuataanmu hanya untuk 10
atau 20 tahun. Dalam 10-20 tahun kemudian akan banyak dampak
yang engkau alami . Dokter tentunya lupa mengatakan kepadamu
sebagai gen penderita diabet seperti ibu, artinya engkau akan menjadi seperti ibu jika engkau hanya mempunya satu ginjal”. Ria tak tahan menangis: “Ibu kenapa ibu menolak apa yang ingin aku ingin
mengorbankan ginjalku. Aku tak merasa
kekurangan apapun, asalkan ibu sembuh dan ibu bisa hadiri jika aku menikah
nanti”. Hani tak mampu berbicara. Airmatanya
mengalir. Membayangkan Ria dengan satu ginjal saja. Dia menggenggam erat tangan Ria. Sambil berbisik dengan tenang dikatakannya: “Coba konsultasikan kepada
dokter Roberto”.
Di
ruang konsultasi Dokter Roberto, Ria telah menunggu beberapa lama sampai pasien
yang kedua. Memasuki ruangan Dokter
Roberto, Ria merasa ringan tubuhnya.
Disalaminya dokter Roberto.
Dokter Roberto menyambut hangat.
“Ria, saya telah mendengar dari ibumu.
Engkau memang anak yang sangat baik , sayang kepada orangtua, mengorbankan dirimu untuk orangtuamu itu
adalah suatu yang mulia”. Segala efek
dan dampak dari donor akan saya sampaikan kepadamu sekarang. Ria mendengar dengan teliti dan cermat. “Nach, jika kamu tetap ingin penjadi donor
ibumu, sebaiknya kamu melakukan rangkaian test dulu”. Ria menyambut tawaran itu dengan
senang.
Dari
satu test ke test berikutnya telah dilakukan oleh Ria. Dia ingin segera mengetahui hasilnya. Saat yang menegangkan bagi Ria menunggu hasil
test. Dinyatakan bahwa ginjal Ria tak memenuhi syarat sebagai
pendonor. Ada faktor X yang menghalangi
Ria untuk menjadi pendonor bagi ibunya.
Kekecewaan hebat menghinggapi
Ria. Kenapa dirinya tak mampu mengorbankan
diri untuk membantu ibunya yang sedang sangat menderita. Jiwanya menangis karena merasa tertolak. Lalu siapa dan bagaimana nasib ibunya jika
tak ada pendonor yang tepat dan cepat dalam waktu yang dekat.
Apa yang dipikirkan Ria memang
benar. Beberapa pendonor dari teman dekat maupun saudara-saudara lain tak juga cocok dengan kualifikasi sebagai pendonor ginjal. Ria dan ayahnya tak mampu berpikir siapa dan
bagaimana mendapatkan donor yang tepat.
Namun, ditengah kegalauan Ria
mencari pendonor yang sulit didapatkan.
Munculah seorang sahabat Hani,
Lisa. Apa yang dialami Hani
selama dalam perawatan, telah menjadi pemikiran Lisa . Lisa tak henti-hentinya memikirkan kesehatan
Ria yang makin memburuk. Hani harus
segera ditolong. Lisa ingin sekali
menolong nyawa sahabatnya. Dia
menawarkan diri kepada Ria dan Hani.
Ria dan Hani sangat terharu sekali mendengar kesediaan Lisa. Hati Hani hanya mampu berkata kehadiran dan pertolongan seorang sahabat dikala sulit adalah suatu mujizat yang tak bisa terpikirkan.
Ternyata
setelah hasil test, Lisa dinyatakan
mampu dan sehat menjadi donor ginjal bagi Hani. Suatu berkat dan anugerah bagi Hani , Lisa
dapat membantunya menjadi pendonor.
Bukan hanya keajaban yang terjadi.
Suami Lisa sebenarnya tak menyetujui karena istrinya melakukan transplasi ginjal. Ketakutan ada efek samping terjadi dengan istrinya. Diskusi dan silang pendapat antara Lisa dan suaminya
begitu sengit. Akhirnya, Lisa harus
bertindak dan dia mengatakan tak ada seorangpun yang menggaransi akan hidup
seseorang. Hidup manusia ditentukan oleh Tuhan.
Tuhan telah menuntunnya untuk membantu Hani. Jika Hani bisa hidup kembali. Itu adalah
anugerah dan dia sebagai sahabat , tak ingin kehilangan sahabatnya. Diapun
merasa bermakna dengan membagikan sesuatu yang berharga bagi sahabatnya.
Indahnya
persahabatan Hani dan Lisa. Membagi kebahagiaan, membagi bagian tubuh , ginjal
kepada yang dicintainya. Kemenangan dan kebahagiaan bagian utama dari perjalanan kedua sahabat ini.
Jakarta 17 April 2013
Ina Tanaya
Penulis Lepas
Mendung kelabu menyelimuti bandara udara. Suasana bandara begitu ramai dengan
keberangkatan dan kedatangan. Wajah
tampil berganti-ganti menyeruak diantara kerumunan orang yang akan berangkat
maupun pergi. Yang sedih akan
meninggalkan saudara, teman maupun kekasihnya.
Juga ada yang senang karena sebentar lagi berlibur meninggalkan
kepenatan pekerjaan rutin sehari-hari.
Toni
sedang menjemput anak perempuannya yang saat itu belajar di luar kota. Biasanya Toni tak punya
waktu untuk menjemput anak
tunggal perempuannya. Kesibukannya sebagai perwira tinggi hampir menyita waktunya untuk
bekerja, berdedikasi kepada negara.
Tapi kali ini dia tak mungkin tidak untuk tidak menjemput satu-satunya
putri tercintanya . Kabar yang sangat
penting harus disampaikan kepada
putrinya. Kabar yang paling sulit
disampaikan. Mulut dan hatinya hampir
tak mampu untuk mengatakan dan membersitkan apa yang dalam dirinya. Kesedihan yang telah dipendam terpaksa harus
disampaikan.
Begitu pesawat yang ditumpangi putrinya sudah
mendarat, dia segera mencari wajah yang tak asing lagi. Ratusan penumpang
bermunculan. Segera dikenalinya wajah
yang sangat disayanginya. Ria, seorang
putri remaja yang sangat cantik mirip dengan ibunya. Putih bersih kulitnya, semampai, mancung
hidungnya, lebat rambutnya. Setengah
berlari, Ria mencari-cari wajah ayahnya.
Begitu dilihatnya, segera dihampirinya. Dipeluknya dan didekapnya
erat. Seolah-olah mereka telah berpisah
bertahun-tahun. Padahal perpisahan itu
baru saja berlangsung sekitar satu tahun.
Namun, dalam setahun banyak hal terjadi.
Ketika
di dalam mobil Ria segera berceloteh kepada ayahnya. Ayah kenapa memanggilku. Kenapa engkau tak menunggu saja sampai liburan tiba.
Nanti aku pasti pulang. Ria tak sabar menunggu penjelasan dari
ayahnya. Hening sejenak. Ayahnya tak mampu berkata sepatah
katapun. Dengan perlahan dan menahan
kepedihan hati, dia mengatakan: “Ibumu,
telah diagnosa untuk cuci darah”. Cuci
darah ini hanya bisa berlangsung 1
tahun. Diharapkan dalam setahun, sudah
ada operasi ginjal dengan menggantikan
ginjal ibu dengan ginjal yang lain”.
Ria menahan jeritnya. Kenapa
ayah tak mengatakan lebih cepat supaya
saya bisa pulang dengan secepatnya menunggu perawatan ibu. Ayahnya mengatakan: “Ayah, tak mau mengganggu kuliahmu. Ayah dapat mengatasinya. Tetapi saat untuk cuci darah yang ketiga
kalinya, ibumu minta engkau datang. Terpaksa ayah harus memanggilmu”.
Terbayang
oleh Ria kesakitan yang diderita ibunya.
Begitu mobil sampai di suatu
rumah sakit. Ria dan ayahnya segera
menuju ke suatu ruang khusus untuk penderita gagal ginjal. Ria melihat wajah ibunya yang pucat, kurus ,
tapi kecantikannya masih terlihat dengan jelas. Dipeluknya ibunya erat-erat dan dibisikannya kata-kata : “Ibu,
kenapa Ibu tak mengatakan apa
yang terjadi sebenarnya?”. Ria sangat
shock melihat kondisi ibunya. Dia ingin
segera datang ke dokter yang menangani
ibunya. Menanyakan kemungkinan kesembuhan bagi ibunya dan
bagaimana cara mendapatkan donor ginjal bagi ibunya. Berbagai macam pertanyaan sudah ada dalam
pikirannya. Ingin ditanyakan kepada dokter ginjal .
Bertemu
dengan dokter ginjal, Roberto sangat menyenangkan. Beliau
memberikan paparan yang sangat gamblang
ibunya telah menderita gagal ginjal yang disebut gagal ginjal kronis , CKD seperti
Vaskulitis. Dialistis adalah
satu-satunya jalan untuk terapi yang tepat.
Tahap berikutnya operasi
pengangkatan ginjal dan mencari donor untuk pengganti ginjal.
Ria
dengan tak segan-segan bertanya kualifikasi menjadi donor ginjal dari
keluarga. Dokter mengatakan bahwa donor
bukan hanya dari keluarga saja. Tetapi kecocokan dari berbagai faktor menjadi
pertimbangan. Syarat mutlak yang harus
diperhatikan sehat mental dan phisik, golongan darah sama, tekanan darah
normal, tidak terkena kanker atau diabet, tak punya penyakit pembuluh darah.
Menyimak segala syarat untuk jadi donor darah, Ria langsung mengatakan, dia
bersedia untuk ditest kelayakannya.
Begitu Hani, ibu Ria mendengar anaknya ingin jadi donor. Dia langsung memanggil ke kamarnya. Percakapan yang sangat intens. “Nak, ibu mengerti engkau sangat ingin berbakti kepada ibu dengan mengorbankan
ginjalmu untuk ibu”. Tetapi ada yang
harus engkau pikirkan lebih lanjut dan matang, engkau hanya mempunyai satu
ginjal saja, kekuataanmu hanya untuk 10
atau 20 tahun. Dalam 10-20 tahun kemudian akan banyak dampak
yang engkau alami . Dokter tentunya lupa mengatakan kepadamu
sebagai gen penderita diabet seperti ibu, artinya engkau akan menjadi seperti ibu jika engkau hanya mempunya satu ginjal”. Ria tak tahan menangis: “Ibu kenapa ibu menolak apa yang ingin aku ingin
mengorbankan ginjalku. Aku tak merasa
kekurangan apapun, asalkan ibu sembuh dan ibu bisa hadiri jika aku menikah
nanti”. Hani tak mampu berbicara. Airmatanya
mengalir. Membayangkan Ria dengan satu ginjal saja. Dia menggenggam erat tangan Ria. Sambil berbisik dengan tenang dikatakannya: “Coba konsultasikan kepada
dokter Roberto”.
Di
ruang konsultasi Dokter Roberto, Ria telah menunggu beberapa lama sampai pasien
yang kedua. Memasuki ruangan Dokter
Roberto, Ria merasa ringan tubuhnya.
Disalaminya dokter Roberto.
Dokter Roberto menyambut hangat.
“Ria, saya telah mendengar dari ibumu.
Engkau memang anak yang sangat baik , sayang kepada orangtua, mengorbankan dirimu untuk orangtuamu itu
adalah suatu yang mulia”. Segala efek
dan dampak dari donor akan saya sampaikan kepadamu sekarang. Ria mendengar dengan teliti dan cermat. “Nach, jika kamu tetap ingin penjadi donor
ibumu, sebaiknya kamu melakukan rangkaian test dulu”. Ria menyambut tawaran itu dengan
senang.
Dari
satu test ke test berikutnya telah dilakukan oleh Ria. Dia ingin segera mengetahui hasilnya. Saat yang menegangkan bagi Ria menunggu hasil
test. Dinyatakan bahwa ginjal Ria tak memenuhi syarat sebagai
pendonor. Ada faktor X yang menghalangi
Ria untuk menjadi pendonor bagi ibunya.
Kekecewaan hebat menghinggapi
Ria. Kenapa dirinya tak mampu mengorbankan
diri untuk membantu ibunya yang sedang sangat menderita. Jiwanya menangis karena merasa tertolak. Lalu siapa dan bagaimana nasib ibunya jika
tak ada pendonor yang tepat dan cepat dalam waktu yang dekat.
Apa yang dipikirkan Ria memang
benar. Beberapa pendonor dari teman dekat maupun saudara-saudara lain tak juga cocok dengan kualifikasi sebagai pendonor ginjal. Ria dan ayahnya tak mampu berpikir siapa dan
bagaimana mendapatkan donor yang tepat.
Namun, ditengah kegalauan Ria
mencari pendonor yang sulit didapatkan.
Munculah seorang sahabat Hani,
Lisa. Apa yang dialami Hani
selama dalam perawatan, telah menjadi pemikiran Lisa . Lisa tak henti-hentinya memikirkan kesehatan
Ria yang makin memburuk. Hani harus
segera ditolong. Lisa ingin sekali
menolong nyawa sahabatnya. Dia
menawarkan diri kepada Ria dan Hani.
Ria dan Hani sangat terharu sekali mendengar kesediaan Lisa. Hati Hani hanya mampu berkata kehadiran dan pertolongan seorang sahabat dikala sulit adalah suatu mujizat yang tak bisa terpikirkan.
Ternyata
setelah hasil test, Lisa dinyatakan
mampu dan sehat menjadi donor ginjal bagi Hani. Suatu berkat dan anugerah bagi Hani , Lisa
dapat membantunya menjadi pendonor.
Bukan hanya keajaban yang terjadi.
Suami Lisa sebenarnya tak menyetujui karena istrinya melakukan transplasi ginjal. Ketakutan ada efek samping terjadi dengan istrinya. Diskusi dan silang pendapat antara Lisa dan suaminya
begitu sengit. Akhirnya, Lisa harus
bertindak dan dia mengatakan tak ada seorangpun yang menggaransi akan hidup
seseorang. Hidup manusia ditentukan oleh Tuhan.
Tuhan telah menuntunnya untuk membantu Hani. Jika Hani bisa hidup kembali. Itu adalah
anugerah dan dia sebagai sahabat , tak ingin kehilangan sahabatnya. Diapun
merasa bermakna dengan membagikan sesuatu yang berharga bagi sahabatnya.
Indahnya
persahabatan Hani dan Lisa. Membagi kebahagiaan, membagi bagian tubuh , ginjal
kepada yang dicintainya. Kemenangan dan kebahagiaan bagian utama dari perjalanan kedua sahabat ini.
Jakarta 17 April 2013
Ina Tanaya
Penulis Lepas