Selasa, 16 April 2013

KEBAHAGIAAN BERBAGI


              Mendung kelabu menyelimuti bandara udara.   Suasana bandara begitu ramai dengan keberangkatan dan kedatangan.  Wajah tampil berganti-ganti menyeruak diantara kerumunan orang yang akan berangkat maupun pergi.  Yang sedih akan meninggalkan saudara, teman maupun kekasihnya.  Juga ada yang senang karena sebentar lagi berlibur meninggalkan kepenatan pekerjaan rutin sehari-hari.

                Toni sedang menjemput anak perempuannya yang saat itu belajar di luar kota.  Biasanya Toni tak  punya  waktu untuk menjemput  anak tunggal  perempuannya.   Kesibukannya sebagai  perwira tinggi hampir menyita waktunya untuk bekerja, berdedikasi kepada negara.   Tapi kali ini dia tak mungkin tidak untuk tidak menjemput satu-satunya putri tercintanya .  Kabar yang sangat penting harus  disampaikan kepada putrinya.  Kabar yang paling sulit disampaikan. Mulut  dan hatinya hampir tak mampu untuk mengatakan dan membersitkan apa yang dalam dirinya.  Kesedihan yang telah dipendam terpaksa harus disampaikan.
 
                Begitu  pesawat yang ditumpangi putrinya sudah mendarat, dia segera mencari wajah yang tak asing lagi. Ratusan penumpang bermunculan.   Segera dikenalinya wajah yang sangat disayanginya.   Ria, seorang putri remaja yang sangat cantik mirip dengan ibunya.  Putih bersih kulitnya, semampai, mancung hidungnya, lebat rambutnya.   Setengah berlari, Ria mencari-cari wajah ayahnya.   Begitu dilihatnya, segera dihampirinya. Dipeluknya dan didekapnya erat.  Seolah-olah mereka telah berpisah bertahun-tahun.  Padahal perpisahan itu baru saja berlangsung sekitar satu tahun.   Namun, dalam setahun banyak hal terjadi.

                Ketika di dalam mobil Ria segera berceloteh kepada ayahnya.  Ayah kenapa memanggilku.  Kenapa engkau tak menunggu saja sampai  liburan tiba.  Nanti aku pasti  pulang.   Ria tak sabar menunggu penjelasan dari ayahnya.    Hening sejenak.  Ayahnya tak mampu berkata sepatah katapun.   Dengan perlahan dan menahan kepedihan hati, dia mengatakan:  “Ibumu, telah diagnosa untuk cuci darah”.  Cuci darah ini  hanya bisa berlangsung 1 tahun.  Diharapkan dalam setahun, sudah ada operasi ginjal  dengan menggantikan ginjal ibu dengan ginjal yang lain”.   Ria menahan jeritnya.   Kenapa ayah tak mengatakan  lebih cepat supaya saya bisa pulang dengan secepatnya menunggu perawatan ibu.   Ayahnya mengatakan:  “Ayah, tak mau mengganggu kuliahmu.  Ayah dapat mengatasinya.  Tetapi saat untuk cuci darah yang ketiga kalinya, ibumu minta engkau datang. Terpaksa ayah harus memanggilmu”.

                Terbayang oleh Ria kesakitan yang diderita ibunya.   Begitu mobil sampai di suatu rumah sakit.  Ria dan ayahnya segera menuju ke suatu ruang khusus untuk penderita gagal ginjal.   Ria melihat wajah ibunya yang pucat, kurus , tapi kecantikannya masih terlihat dengan jelas. Dipeluknya ibunya  erat-erat dan dibisikannya kata-kata :  “Ibu,  kenapa  Ibu tak mengatakan apa yang terjadi sebenarnya?”.    Ria sangat shock melihat kondisi ibunya.  Dia ingin segera datang ke dokter yang  menangani ibunya.  Menanyakan  kemungkinan kesembuhan bagi ibunya dan bagaimana cara mendapatkan donor ginjal bagi ibunya.  Berbagai macam pertanyaan sudah ada dalam pikirannya. Ingin ditanyakan kepada dokter ginjal .
                Bertemu dengan dokter ginjal, Roberto sangat menyenangkan.   Beliau  memberikan paparan yang sangat gamblang  ibunya telah menderita gagal ginjal yang disebut  gagal ginjal kronis , CKD seperti Vaskulitis.    Dialistis adalah satu-satunya jalan untuk terapi yang tepat.  Tahap berikutnya  operasi pengangkatan ginjal dan mencari donor untuk pengganti ginjal.   
                Ria dengan tak segan-segan bertanya   kualifikasi menjadi donor ginjal dari keluarga.   Dokter mengatakan bahwa donor bukan  hanya dari keluarga saja.  Tetapi kecocokan dari berbagai faktor menjadi pertimbangan.  Syarat mutlak yang harus diperhatikan sehat mental dan phisik, golongan darah sama, tekanan darah normal, tidak terkena kanker atau diabet, tak punya penyakit pembuluh darah. Menyimak segala syarat untuk jadi donor darah, Ria langsung mengatakan, dia bersedia untuk ditest kelayakannya.
                Begitu  Hani, ibu Ria mendengar anaknya ingin jadi donor.  Dia langsung memanggil ke kamarnya.   Percakapan yang sangat intens.    “Nak, ibu mengerti engkau sangat  ingin berbakti kepada ibu dengan mengorbankan ginjalmu untuk ibu”.   Tetapi ada yang harus engkau pikirkan lebih lanjut dan matang, engkau hanya mempunyai satu ginjal saja, kekuataanmu hanya untuk  10 atau 20 tahun.   Dalam 10-20 tahun kemudian akan banyak dampak yang  engkau alami .   Dokter tentunya lupa mengatakan kepadamu sebagai gen penderita diabet seperti ibu, artinya  engkau akan menjadi seperti ibu jika  engkau hanya mempunya satu ginjal”.     Ria tak tahan menangis:  “Ibu kenapa ibu menolak apa yang ingin aku ingin mengorbankan ginjalku.   Aku tak merasa kekurangan apapun, asalkan ibu sembuh dan ibu bisa hadiri jika aku menikah nanti”.    Hani tak mampu berbicara. Airmatanya mengalir. Membayangkan Ria dengan satu ginjal saja.   Dia menggenggam erat tangan Ria.   Sambil berbisik dengan tenang  dikatakannya: “Coba konsultasikan kepada dokter Roberto”.

                Di ruang konsultasi Dokter Roberto, Ria telah menunggu beberapa lama sampai pasien yang kedua.   Memasuki ruangan Dokter Roberto, Ria merasa ringan tubuhnya.   Disalaminya dokter Roberto.   Dokter Roberto menyambut hangat.   “Ria, saya telah mendengar dari ibumu.  Engkau memang anak yang sangat baik , sayang kepada orangtua,  mengorbankan dirimu untuk orangtuamu itu adalah suatu yang mulia”.   Segala efek dan dampak dari donor akan saya sampaikan kepadamu sekarang.  Ria mendengar dengan teliti dan cermat.   “Nach, jika kamu tetap ingin penjadi donor ibumu, sebaiknya kamu melakukan rangkaian test dulu”.    Ria menyambut tawaran itu dengan senang.  

                Dari satu test ke test berikutnya telah dilakukan oleh Ria.  Dia ingin segera mengetahui hasilnya.  Saat yang menegangkan bagi Ria menunggu hasil test.  Dinyatakan bahwa  ginjal Ria tak memenuhi syarat sebagai pendonor.   Ada faktor X yang menghalangi Ria untuk menjadi pendonor bagi ibunya.

Kekecewaan hebat menghinggapi Ria.  Kenapa dirinya tak mampu mengorbankan diri untuk membantu ibunya yang sedang sangat menderita.   Jiwanya menangis  karena merasa tertolak.  Lalu siapa dan bagaimana nasib ibunya jika tak ada pendonor yang tepat dan cepat dalam waktu yang dekat.

Apa yang dipikirkan Ria memang benar. Beberapa pendonor dari teman dekat maupun saudara-saudara lain  tak juga cocok dengan kualifikasi  sebagai pendonor ginjal.  Ria dan ayahnya tak mampu berpikir siapa dan bagaimana mendapatkan donor yang tepat.

Namun, ditengah kegalauan Ria mencari pendonor yang sulit didapatkan.  Munculah seorang sahabat Hani,   Lisa.    Apa yang dialami Hani selama dalam perawatan, telah menjadi pemikiran Lisa .  Lisa tak henti-hentinya memikirkan kesehatan Ria yang makin memburuk.  Hani harus segera ditolong.  Lisa ingin sekali menolong nyawa sahabatnya.  Dia menawarkan diri kepada Ria dan Hani.   Ria dan Hani sangat terharu sekali mendengar kesediaan  Lisa.  Hati Hani hanya mampu berkata kehadiran dan pertolongan seorang sahabat dikala sulit adalah suatu mujizat yang tak bisa terpikirkan.

                Ternyata setelah hasil test, Lisa dinyatakan  mampu dan sehat menjadi donor ginjal bagi Hani.  Suatu berkat dan anugerah bagi Hani , Lisa dapat membantunya menjadi pendonor.  Bukan hanya keajaban yang  terjadi.  Suami Lisa sebenarnya tak menyetujui karena istrinya melakukan transplasi ginjal. Ketakutan ada efek samping terjadi dengan istrinya.  Diskusi dan silang pendapat antara Lisa dan suaminya begitu sengit.  Akhirnya, Lisa harus bertindak dan dia mengatakan tak ada seorangpun yang menggaransi akan hidup seseorang. Hidup manusia ditentukan oleh Tuhan.  Tuhan telah menuntunnya untuk membantu Hani.  Jika Hani bisa hidup kembali. Itu adalah anugerah dan dia sebagai sahabat , tak ingin kehilangan sahabatnya. Diapun merasa bermakna dengan membagikan sesuatu yang berharga bagi sahabatnya.

                Indahnya persahabatan Hani dan Lisa. Membagi kebahagiaan, membagi bagian tubuh , ginjal kepada yang dicintainya.  Kemenangan dan kebahagiaan bagian utama dari  perjalanan kedua sahabat ini.



Jakarta 17 April 2013
Ina Tanaya
Penulis Lepas 
               
Read More
              Mendung kelabu menyelimuti bandara udara.   Suasana bandara begitu ramai dengan keberangkatan dan kedatangan.  Wajah tampil berganti-ganti menyeruak diantara kerumunan orang yang akan berangkat maupun pergi.  Yang sedih akan meninggalkan saudara, teman maupun kekasihnya.  Juga ada yang senang karena sebentar lagi berlibur meninggalkan kepenatan pekerjaan rutin sehari-hari.

                Toni sedang menjemput anak perempuannya yang saat itu belajar di luar kota.  Biasanya Toni tak  punya  waktu untuk menjemput  anak tunggal  perempuannya.   Kesibukannya sebagai  perwira tinggi hampir menyita waktunya untuk bekerja, berdedikasi kepada negara.   Tapi kali ini dia tak mungkin tidak untuk tidak menjemput satu-satunya putri tercintanya .  Kabar yang sangat penting harus  disampaikan kepada putrinya.  Kabar yang paling sulit disampaikan. Mulut  dan hatinya hampir tak mampu untuk mengatakan dan membersitkan apa yang dalam dirinya.  Kesedihan yang telah dipendam terpaksa harus disampaikan.
 
                Begitu  pesawat yang ditumpangi putrinya sudah mendarat, dia segera mencari wajah yang tak asing lagi. Ratusan penumpang bermunculan.   Segera dikenalinya wajah yang sangat disayanginya.   Ria, seorang putri remaja yang sangat cantik mirip dengan ibunya.  Putih bersih kulitnya, semampai, mancung hidungnya, lebat rambutnya.   Setengah berlari, Ria mencari-cari wajah ayahnya.   Begitu dilihatnya, segera dihampirinya. Dipeluknya dan didekapnya erat.  Seolah-olah mereka telah berpisah bertahun-tahun.  Padahal perpisahan itu baru saja berlangsung sekitar satu tahun.   Namun, dalam setahun banyak hal terjadi.

                Ketika di dalam mobil Ria segera berceloteh kepada ayahnya.  Ayah kenapa memanggilku.  Kenapa engkau tak menunggu saja sampai  liburan tiba.  Nanti aku pasti  pulang.   Ria tak sabar menunggu penjelasan dari ayahnya.    Hening sejenak.  Ayahnya tak mampu berkata sepatah katapun.   Dengan perlahan dan menahan kepedihan hati, dia mengatakan:  “Ibumu, telah diagnosa untuk cuci darah”.  Cuci darah ini  hanya bisa berlangsung 1 tahun.  Diharapkan dalam setahun, sudah ada operasi ginjal  dengan menggantikan ginjal ibu dengan ginjal yang lain”.   Ria menahan jeritnya.   Kenapa ayah tak mengatakan  lebih cepat supaya saya bisa pulang dengan secepatnya menunggu perawatan ibu.   Ayahnya mengatakan:  “Ayah, tak mau mengganggu kuliahmu.  Ayah dapat mengatasinya.  Tetapi saat untuk cuci darah yang ketiga kalinya, ibumu minta engkau datang. Terpaksa ayah harus memanggilmu”.

                Terbayang oleh Ria kesakitan yang diderita ibunya.   Begitu mobil sampai di suatu rumah sakit.  Ria dan ayahnya segera menuju ke suatu ruang khusus untuk penderita gagal ginjal.   Ria melihat wajah ibunya yang pucat, kurus , tapi kecantikannya masih terlihat dengan jelas. Dipeluknya ibunya  erat-erat dan dibisikannya kata-kata :  “Ibu,  kenapa  Ibu tak mengatakan apa yang terjadi sebenarnya?”.    Ria sangat shock melihat kondisi ibunya.  Dia ingin segera datang ke dokter yang  menangani ibunya.  Menanyakan  kemungkinan kesembuhan bagi ibunya dan bagaimana cara mendapatkan donor ginjal bagi ibunya.  Berbagai macam pertanyaan sudah ada dalam pikirannya. Ingin ditanyakan kepada dokter ginjal .
                Bertemu dengan dokter ginjal, Roberto sangat menyenangkan.   Beliau  memberikan paparan yang sangat gamblang  ibunya telah menderita gagal ginjal yang disebut  gagal ginjal kronis , CKD seperti Vaskulitis.    Dialistis adalah satu-satunya jalan untuk terapi yang tepat.  Tahap berikutnya  operasi pengangkatan ginjal dan mencari donor untuk pengganti ginjal.   
                Ria dengan tak segan-segan bertanya   kualifikasi menjadi donor ginjal dari keluarga.   Dokter mengatakan bahwa donor bukan  hanya dari keluarga saja.  Tetapi kecocokan dari berbagai faktor menjadi pertimbangan.  Syarat mutlak yang harus diperhatikan sehat mental dan phisik, golongan darah sama, tekanan darah normal, tidak terkena kanker atau diabet, tak punya penyakit pembuluh darah. Menyimak segala syarat untuk jadi donor darah, Ria langsung mengatakan, dia bersedia untuk ditest kelayakannya.
                Begitu  Hani, ibu Ria mendengar anaknya ingin jadi donor.  Dia langsung memanggil ke kamarnya.   Percakapan yang sangat intens.    “Nak, ibu mengerti engkau sangat  ingin berbakti kepada ibu dengan mengorbankan ginjalmu untuk ibu”.   Tetapi ada yang harus engkau pikirkan lebih lanjut dan matang, engkau hanya mempunyai satu ginjal saja, kekuataanmu hanya untuk  10 atau 20 tahun.   Dalam 10-20 tahun kemudian akan banyak dampak yang  engkau alami .   Dokter tentunya lupa mengatakan kepadamu sebagai gen penderita diabet seperti ibu, artinya  engkau akan menjadi seperti ibu jika  engkau hanya mempunya satu ginjal”.     Ria tak tahan menangis:  “Ibu kenapa ibu menolak apa yang ingin aku ingin mengorbankan ginjalku.   Aku tak merasa kekurangan apapun, asalkan ibu sembuh dan ibu bisa hadiri jika aku menikah nanti”.    Hani tak mampu berbicara. Airmatanya mengalir. Membayangkan Ria dengan satu ginjal saja.   Dia menggenggam erat tangan Ria.   Sambil berbisik dengan tenang  dikatakannya: “Coba konsultasikan kepada dokter Roberto”.

                Di ruang konsultasi Dokter Roberto, Ria telah menunggu beberapa lama sampai pasien yang kedua.   Memasuki ruangan Dokter Roberto, Ria merasa ringan tubuhnya.   Disalaminya dokter Roberto.   Dokter Roberto menyambut hangat.   “Ria, saya telah mendengar dari ibumu.  Engkau memang anak yang sangat baik , sayang kepada orangtua,  mengorbankan dirimu untuk orangtuamu itu adalah suatu yang mulia”.   Segala efek dan dampak dari donor akan saya sampaikan kepadamu sekarang.  Ria mendengar dengan teliti dan cermat.   “Nach, jika kamu tetap ingin penjadi donor ibumu, sebaiknya kamu melakukan rangkaian test dulu”.    Ria menyambut tawaran itu dengan senang.  

                Dari satu test ke test berikutnya telah dilakukan oleh Ria.  Dia ingin segera mengetahui hasilnya.  Saat yang menegangkan bagi Ria menunggu hasil test.  Dinyatakan bahwa  ginjal Ria tak memenuhi syarat sebagai pendonor.   Ada faktor X yang menghalangi Ria untuk menjadi pendonor bagi ibunya.

Kekecewaan hebat menghinggapi Ria.  Kenapa dirinya tak mampu mengorbankan diri untuk membantu ibunya yang sedang sangat menderita.   Jiwanya menangis  karena merasa tertolak.  Lalu siapa dan bagaimana nasib ibunya jika tak ada pendonor yang tepat dan cepat dalam waktu yang dekat.

Apa yang dipikirkan Ria memang benar. Beberapa pendonor dari teman dekat maupun saudara-saudara lain  tak juga cocok dengan kualifikasi  sebagai pendonor ginjal.  Ria dan ayahnya tak mampu berpikir siapa dan bagaimana mendapatkan donor yang tepat.

Namun, ditengah kegalauan Ria mencari pendonor yang sulit didapatkan.  Munculah seorang sahabat Hani,   Lisa.    Apa yang dialami Hani selama dalam perawatan, telah menjadi pemikiran Lisa .  Lisa tak henti-hentinya memikirkan kesehatan Ria yang makin memburuk.  Hani harus segera ditolong.  Lisa ingin sekali menolong nyawa sahabatnya.  Dia menawarkan diri kepada Ria dan Hani.   Ria dan Hani sangat terharu sekali mendengar kesediaan  Lisa.  Hati Hani hanya mampu berkata kehadiran dan pertolongan seorang sahabat dikala sulit adalah suatu mujizat yang tak bisa terpikirkan.

                Ternyata setelah hasil test, Lisa dinyatakan  mampu dan sehat menjadi donor ginjal bagi Hani.  Suatu berkat dan anugerah bagi Hani , Lisa dapat membantunya menjadi pendonor.  Bukan hanya keajaban yang  terjadi.  Suami Lisa sebenarnya tak menyetujui karena istrinya melakukan transplasi ginjal. Ketakutan ada efek samping terjadi dengan istrinya.  Diskusi dan silang pendapat antara Lisa dan suaminya begitu sengit.  Akhirnya, Lisa harus bertindak dan dia mengatakan tak ada seorangpun yang menggaransi akan hidup seseorang. Hidup manusia ditentukan oleh Tuhan.  Tuhan telah menuntunnya untuk membantu Hani.  Jika Hani bisa hidup kembali. Itu adalah anugerah dan dia sebagai sahabat , tak ingin kehilangan sahabatnya. Diapun merasa bermakna dengan membagikan sesuatu yang berharga bagi sahabatnya.

                Indahnya persahabatan Hani dan Lisa. Membagi kebahagiaan, membagi bagian tubuh , ginjal kepada yang dicintainya.  Kemenangan dan kebahagiaan bagian utama dari  perjalanan kedua sahabat ini.



Jakarta 17 April 2013
Ina Tanaya
Penulis Lepas