Sahabatku yang jauh dari diriku. Jauh karena memang jarak
memisahkan kami di antara dua benua.
Benua dimana kami tinggal, satu tinggal di Asia dan yang lain tinggal di
Amerika. Namun, persahabatan yang telah
terjalin ini tak pernah punah di kekang oleh angin, air, maupun waktu. Telah
hampir 30 tahun kami berpisah, kami hanya bertemu dalam dunia surel dan hanya
dua atau tiga kali kami bertemu muka dengan muka.
Jalinan
pertama kali persahabatan kami adalah ketika aku bertemu dengan Sarah di
kantor. Kami sekantor tetapi tak satu bagian. Kami berlainan divisi. Tetapi sejak saat pertama kali bertemu, hati
,perasaan dan pemikiran kami telah menyatu dalam satu kata, inilah
sahabatku dalam suka dan duka.
Bukan
kuantitas pertemuan yang kami pentingkan. Kami jarang bertemu , hanya di
kantor. Itupun karena waktu terbatas karena masing-masing harus bekerja. Entah bagaimana, rumah sahabatku ini dekat
atau bertetangga denganku. Seolah telah diatur, kami, menghabisakan hari Sabtu pagi atau minggu siang, ngobrol
sebentar soal anak, keluarga atau pekerjaan.
Saat
itu kualitasnya seorang sahabat belum begitu kentara karena kami masih dengan
kesibukan kami sebagai ibu dan pegawai
yang memiliki rasa tanggung jawab
masing-masing.
Tetapi
waktu berjalan sangat cepat, kami harus berpisah.
Sahabatku harus pindah dan meninggalkan diriku , jauh ke luar
negeri, paman Sam.
Ketika
kami dekat bertetangga, hubungan kami seperti datar tanpa kedekatan emosi.
Namun, ketika kami berjauhan, hati kami semakin dekat. Pada saat tertentu seakan kami makin tak mau
lewatkan tanpa dirinya. Begitupun dengan sahabatku.
Kuingat
benar, ketika sahabatku meninggalkan ibunya sendiri dengan pembatu. Ibunya yang telah tua harus melakukan
kegiataan sehari-hari bersama dengan pembantu. Tanpa bantuan orang lain. Phisiknya yang makin lemah menyebabkan,
ketergantungan kepada orang yang dapat merawat atau melihat kondisi
kesehatannya. Akulah, yang sering datang
ke rumahnya. Kulihat dan kuberikan
bantuan seperlunya dan kuberi tahukan kepada sahabatku apa yang terjadi dengan
ibunya.
Namun,
suatu hari ketika kelemahan phisiknya
sangat mengkuatirkan. Aku segera
menelpon dirinya. Sarah segera menelpon
kakaknya yang berada di luar kota untuk segera datang ke rumah ibunya dan
memberikan pertolongan secepatnya.
Ternyata, ketika dokter datang, ibunya harus langsung dibawa ke rumah
sakit. Dalam kondisi kritis,
berkali-kali sahabatku menyatakan kekuatiran dan ketakutan kehilangan ibunya.
Aku selalu menghiburnya. Jika ada sesuatu yang sangat emergency, pasti aku akan
tetap mendampingi ibunya. Dia tak perlu
kuatir dan takut.
Nada
suaranya sangat penuh penyesalan ketika akhirnya ibunya meninggal. Tanpa bisa
menghadiri pemakaman karena waktunya yang tak cukup. Sarah, sering menyesali apa yang tak bisa
dilakukakannya untuk ibunya tercinta.
Aku selalu mengatakan kepadanya, tak seharusnya dia menyesali karena
waktu ibunya berpulang adalah waktu yang telah ditentukan oleh PenciptaNya. Tak
perlu menyesali diri karena tak bisa hadir .
Waktu dan ijin yang tak memungkinkan, bukan karena ia tak mau . Berkali-kali kukatakan kepadanya tak perlu
ada penyesalan. Bukan kesalahannya maupun kemauannya untuk tak hadir.
Peristiwa
itu makin membuat hubungan kami sebagai sahabat makin dekat. Kedekatan hati kami untuk saling mengisi dan
memberikan kekuataan ketika salah satu dari kami sedang lemah. Kami tak pernah
saling menuding kesalahan kami ketika kami tahu sebenarya ada hal yang salah
dalam menentukan sikap dan langkah kami.
Kami saling memberikan doa dan kekuataan dan berbagi pengalaman hidup
jika ada sesuatu yang sangat menyakitkan terjadi pada kami.
Sakit hati atas tidak
menerimanya kenyataan hidup bagaikan hal yang sangat menyakitkan bagi sahabatku. Sahabatku, menganggap kesalahan itu pada
dirinya. Sebenarnya bukan total kesalahan pribadinya tetapi karena perubahan nilai dan budaya ,kultur
yang tak dipahaminya. Kesalahan akan
dirinya selalu menghantui dirinya.
Membuat phisiknya melemah. Akhirnya, dia menderita berbagai macam
penyakit.
Dalam
kelemahan phisik, saya selaku sahabat tak pernah meninggalkannya. Kuberikan apa
yang tak pernah kualami, tetapi apa yang kupelajari . Tak boleh menyalahkan
diri terus menerus. Bangkit dari keterpurukan adalah jalan keluar. Doa untuk sahabatku selalu kulayangkan.
Inilah
arti seorang sahabat. Ketika aku juga terpuruk dalam pemikiran yang tak
menentu. Aku akan datang kepadanya. Memohon agar dia dapat membantuku memberi
kekuataan dalam spirit dan dukungan.
Ternyata ini dapat dibuktikan arti seorang sahabat.
Bagiku
seorang sahabat adalah seorang yang teruji dalam duka bukan hanya dalam suka
saja. Dia penolong dan pendukung dan orang yang terbuka memberikan dukungan
ketika kita dalam kesulitan.
Marilah
kita mencari ,menemukan dan menjadi sahabat-sahabatsejati!
Sahabatku yang jauh dari diriku. Jauh karena memang jarak
memisahkan kami di antara dua benua.
Benua dimana kami tinggal, satu tinggal di Asia dan yang lain tinggal di
Amerika. Namun, persahabatan yang telah
terjalin ini tak pernah punah di kekang oleh angin, air, maupun waktu. Telah
hampir 30 tahun kami berpisah, kami hanya bertemu dalam dunia surel dan hanya
dua atau tiga kali kami bertemu muka dengan muka.
Jalinan
pertama kali persahabatan kami adalah ketika aku bertemu dengan Sarah di
kantor. Kami sekantor tetapi tak satu bagian. Kami berlainan divisi. Tetapi sejak saat pertama kali bertemu, hati
,perasaan dan pemikiran kami telah menyatu dalam satu kata, inilah
sahabatku dalam suka dan duka.
Bukan
kuantitas pertemuan yang kami pentingkan. Kami jarang bertemu , hanya di
kantor. Itupun karena waktu terbatas karena masing-masing harus bekerja. Entah bagaimana, rumah sahabatku ini dekat
atau bertetangga denganku. Seolah telah diatur, kami, menghabisakan hari Sabtu pagi atau minggu siang, ngobrol
sebentar soal anak, keluarga atau pekerjaan.
Saat
itu kualitasnya seorang sahabat belum begitu kentara karena kami masih dengan
kesibukan kami sebagai ibu dan pegawai
yang memiliki rasa tanggung jawab
masing-masing.
Tetapi
waktu berjalan sangat cepat, kami harus berpisah.
Sahabatku harus pindah dan meninggalkan diriku , jauh ke luar
negeri, paman Sam.
Ketika
kami dekat bertetangga, hubungan kami seperti datar tanpa kedekatan emosi.
Namun, ketika kami berjauhan, hati kami semakin dekat. Pada saat tertentu seakan kami makin tak mau
lewatkan tanpa dirinya. Begitupun dengan sahabatku.
Kuingat
benar, ketika sahabatku meninggalkan ibunya sendiri dengan pembatu. Ibunya yang telah tua harus melakukan
kegiataan sehari-hari bersama dengan pembantu. Tanpa bantuan orang lain. Phisiknya yang makin lemah menyebabkan,
ketergantungan kepada orang yang dapat merawat atau melihat kondisi
kesehatannya. Akulah, yang sering datang
ke rumahnya. Kulihat dan kuberikan
bantuan seperlunya dan kuberi tahukan kepada sahabatku apa yang terjadi dengan
ibunya.
Namun,
suatu hari ketika kelemahan phisiknya
sangat mengkuatirkan. Aku segera
menelpon dirinya. Sarah segera menelpon
kakaknya yang berada di luar kota untuk segera datang ke rumah ibunya dan
memberikan pertolongan secepatnya.
Ternyata, ketika dokter datang, ibunya harus langsung dibawa ke rumah
sakit. Dalam kondisi kritis,
berkali-kali sahabatku menyatakan kekuatiran dan ketakutan kehilangan ibunya.
Aku selalu menghiburnya. Jika ada sesuatu yang sangat emergency, pasti aku akan
tetap mendampingi ibunya. Dia tak perlu
kuatir dan takut.
Nada
suaranya sangat penuh penyesalan ketika akhirnya ibunya meninggal. Tanpa bisa
menghadiri pemakaman karena waktunya yang tak cukup. Sarah, sering menyesali apa yang tak bisa
dilakukakannya untuk ibunya tercinta.
Aku selalu mengatakan kepadanya, tak seharusnya dia menyesali karena
waktu ibunya berpulang adalah waktu yang telah ditentukan oleh PenciptaNya. Tak
perlu menyesali diri karena tak bisa hadir .
Waktu dan ijin yang tak memungkinkan, bukan karena ia tak mau . Berkali-kali kukatakan kepadanya tak perlu
ada penyesalan. Bukan kesalahannya maupun kemauannya untuk tak hadir.
Peristiwa
itu makin membuat hubungan kami sebagai sahabat makin dekat. Kedekatan hati kami untuk saling mengisi dan
memberikan kekuataan ketika salah satu dari kami sedang lemah. Kami tak pernah
saling menuding kesalahan kami ketika kami tahu sebenarya ada hal yang salah
dalam menentukan sikap dan langkah kami.
Kami saling memberikan doa dan kekuataan dan berbagi pengalaman hidup
jika ada sesuatu yang sangat menyakitkan terjadi pada kami.
Sakit hati atas tidak
menerimanya kenyataan hidup bagaikan hal yang sangat menyakitkan bagi sahabatku. Sahabatku, menganggap kesalahan itu pada
dirinya. Sebenarnya bukan total kesalahan pribadinya tetapi karena perubahan nilai dan budaya ,kultur
yang tak dipahaminya. Kesalahan akan
dirinya selalu menghantui dirinya.
Membuat phisiknya melemah. Akhirnya, dia menderita berbagai macam
penyakit.
Dalam
kelemahan phisik, saya selaku sahabat tak pernah meninggalkannya. Kuberikan apa
yang tak pernah kualami, tetapi apa yang kupelajari . Tak boleh menyalahkan
diri terus menerus. Bangkit dari keterpurukan adalah jalan keluar. Doa untuk sahabatku selalu kulayangkan.
Inilah
arti seorang sahabat. Ketika aku juga terpuruk dalam pemikiran yang tak
menentu. Aku akan datang kepadanya. Memohon agar dia dapat membantuku memberi
kekuataan dalam spirit dan dukungan.
Ternyata ini dapat dibuktikan arti seorang sahabat.
Bagiku
seorang sahabat adalah seorang yang teruji dalam duka bukan hanya dalam suka
saja. Dia penolong dan pendukung dan orang yang terbuka memberikan dukungan
ketika kita dalam kesulitan.
Marilah
kita mencari ,menemukan dan menjadi sahabat-sahabatsejati!